Rabu, 01 Februari 2012

Bali Pulau Desainan, dengan Kacamata Teori Peter L. Berger ( Konstruksi Sosial )

Dunia ini panggung sandiwara.
Ceritanya mudah berubah.
Kisah mahabrata atau tragedi dari yunani.
Setiap kita dapat satu peranan yang kita mainkan.( God bless) 
Mungkin semua orang tahu tentang pulau Bali, baik orang dari luar indonesia maupun dari dalam indonesia. Pulau yang di anggap memiliki ke indahan, keramahan, adat istiadat yang kental, dan dihuni oleh masyarakat yang berjiwa seni, religius dan lain - lainnya. Imege – imege ini membuat para wisatawan terhipnotis oleh ke eksotikan pulaunya dan ke tradisionalan adatnya. Sehingga para wisatawan luar dan dalam pun berbondong – bondong datang kepulau yang di anggap memiliki keromantisan dalam berlibur. Menurut data statistik tahun 2011, masyarakat atau negara dunia yang paling banyak berkunjung ke pulau Bali adalah Australia 790.965 orang (28,69 %), Jepang 183.284 orang (6,65%), korea 126.709 orang (4,60 %), China 236.868 orang (8,59 %), Taiwan 129.233 orang (4,69 %), Malaysia 169.719 orang (6,16 %), USA 90.154 orang (3,27%) dan France 111.542 orang (4,05 %), di tambah lagi dengan wisatawan dalam negeri yang berkunjung ke pulau Bali.
Tapi apabila kita mengamati Bali secara cermat, mungkin kita tidak percaya bahwa pulau seribu pura ini sebagai pulau yang indah dengan bingkai desainan para penguasa dan pengusaha yang memiliki tujuan untuk mengeksploitasi kekayaan yang ada di pulau seribu pura ini, baik kekayaan materiil maupun in materiil. Berkaca mata dari teori Peter L. Berger tentang “ Kontruksi Sosial”. Di mana masyarakat di bentuk oleh individu – individu melalui tindakan atau interaksi, yang berefek pada pembentukan realitas secara terus menerus yang di miliki dan di alami bersama secara subjektif. Sama hal nya dengan pembentukan realitas di pulau seribu pura oleh individu – individu melalui tindakan dan interaksinya. Settingan yang di bentuk oleh Kolonial Hindia Belanda yang berbentuk pencitraan dan pembentukan imege positif tentang Bali masih di pertahankan oleh masyarakat Bali, dan ini harus berefek pada pembentukan realitas – realitas baru hingga sekarang ini. Semisal pembentukan Gerakan Ajeg Bali, yang hadir dari atas stimulus tidak langsung dari  tragedi Bom Bali 1 dengan sebuah tujuan utopis untuk mempertahankan adat istiadat, baik berupa desa pakraman, hukum adat, adat, tradisi, dan budaya yang merupakan warisan kolonial Hindia Belanda. Dan hal ini pun hingga sekarang masih mendarah daging di benak masyarakat Bali.
Pembentukan realitas yang di bentuk oleh kolonial Hindia Belanda masih dipertahankan oleh masyarakat Bali. Berbagai cara masyarakat Bali lakukan untuk bisa mempertahankan warisan kolonial Hindia Belanda. Salah satunya adalah penyesuaian diri dengan dunia sosio-kulturanya. Dalam bahasa Peter L. Berger, hal ini merupakan bagian dari kontruksi sosial yang berbentuk eksternalisasi (Society is a human product). Penyesuaian diri  dengan sosio – kultural ini terus dilaksanakan, hingga berujung pada sebuah pembentukan realitas – realitas baru. Ketika realitas – realitas baru ini terbentuk, maka masyarakat akan membuat sebuah wadah untuk bisa menampung realitas – realitas baru ini. Menurut Peter L. Berger, fase ini di namakan dengan Objektivasi, yang di mana interaksi sosial masyarakat dalam dunia intersubjektif dilembagakan atau mengalami institusionalisasi (Society is an objective reality). Lembaga – lembaga pun terus bergerak dengan tujuan memobilisasi atau merekrut massa untuk masuk dalam instansi atau lembaga itu sendiri. Dengan terbentuknya lembaga atau instansi yang di anggap memiliki tujuan sebagai penjaga adat istiadat. Ini membuat sebuah ketertarikan Manusia Bali untuk masuk pada lembaga itu. Ketertarikan masyarakat Bali untuk masuk instansi atau lembaga itu harus berlanjut pada pengidentifikasian diri terhadap lembaga-lembaga sosial atau instansi sosial itu sendiri. Hal ini di namakan dengan fase internalisasi (Man is a social product).
Berbagai fase dari teori Peter L. Berger tentang Kontruksi Sosial pun telah di lewati oleh sebagian masyarakat Bali. Dari fase eksternalisasi, objektifasi maupun internalisasi. Fase – fase ini terus di aplikasikan dan di gerakkan oleh masyarakat Bali. Ketika masyarakat Bali harus memasuki fase ke 3, disini terjadi sebuah agenda doktrinisasi yang di lakukan oleh individu yang ber keinginan merealisasikan visi dan misinya. Menurut Althusser ini di namakan Ideology state apataratus. Sehingga besar kemungkinan  hal ini akan berujung pada pembentukan karakter masyarakat Bali yang bersifat fanatik, konservatif atau fundamental. Kondisi ini lah yang membentuk masyarakat Bali menjadi masyarakat yang fanatik dengan individu yang bukan ras Bali, dan telalu konservatif dalam menilai keyakinan yang memang bukan keyakinan mayoritas masyarakat Bali.
Fenomena di atas hingga sekarang ini pun terus terjadi. Apalagi di tambah dengan berbagai kejadian yang menimpa pulau yang di anggap surga terakhir oleh para wisatawan. Kejadian itu adalah tragedi Bom Bali 1 yang telah memakan ratusan korban dari berbagai negara dan merusak sebagian kebudayan milik Bali. Tragedi ini di lakukan oleh penganut paham – paham islam transnasional seperti Amrozi Cs. Saya sebagai seorang muslim pun mengutuk perbuatan yang di lakukan oleh islam – islam fundamental ini. Kejadian yang sangat tragis ini pun harus berujung pada semakin meningkatnya  rasa benci masyarakat Bali terhadap pelaku bom pada khusunya dan orang – orang luar Bali pada umumnya. Sehingga hal ini harus berimbas kepada pendatang yang mengadu nasib ke pulau Bali atau sebagian masyarakat muslim yang bukan asli Bali atau asli Bali. Berbagai gerakan pun terus  di lakukan masyarakat Bali. Baik gerakan yang mengandung unsur – unsur diskriminasi, fanatik atau konservatif.
Pembentukan realitas baru pun terus terjadi. Salah satu realitas baru yang muncul adalah penerapan gerakan Ajeg Bali terhadap sebagian desa pakraman, ini di sebabkan oleh adanya respon masyarakat Bali terhadap trgedi 12 – oktober – 2002. Desa pakraman di pilih sebagai tempat untuk menerapkan Gerakan Ajeg Bali karena pakraman di anggap sebagai fondasi fundamental untuk menjaga dan melindungi kebudayaan dan adat istiadat Bali. Dan ini pun harus berefek pada penyalah gunaan fungsi milisi lokal / pecalang dalam menjalankan tugas nya. Dulunya milisi lokal ini berfungsi sebagai satgas pengaman, baik dalam acara ritual atau penjaga pakraman ( desa adat ). Tapi sekarang fungsi itu sudah mengalami pergeseran, kini  milisi lokal lebih condong berfungsi sebagai milisi yang hanya mencari ke untungan materiil semata. Semisal sweeping yang dilakukan milisi lokal terhadap para pendatang di tengah malam dengan kasar, dan sebagai pengaman partai politik ketika partai politik melakukan kampanye. Sehingga fungsi milisi lokal di era sekarang ini sangat bertolak belakang dengan konsep Tri Hita Karana yang menjadi pedoman hidup bagi manusia Bali. Dan hal ini pun harus di amini oleh mayoritas masyarakat Bali yang masih menginjakkan kaki pada hal – hal tradisional dan masih mengikuti keputusan dinas adat. Sungguh beringas kehidupan Bali, hal – hal yang salah menurut ajaran agama harus di realisasikan oleh milisi lokal yang berlindung atas nama adat.
Alangkah lucunya realita yang terjadi di pulau Bali yang di anggap sebagai negeri yang memiliki adat istiadat, keramahan dan nilai kereligiusan yang tinggi. Angapan – angapan ini harus bertolak belakang dengan Gerakan – gerakan yang di lakukan masyarakat Bali. Semisal anggapan orang terhadap masyarakat Bali yang memiliki nilai ke religiusan sangat tinggi. Hal ini harus bertolak belakang dengan gerakan yang dilakukan oleh masyarakat Bali (Keluar dari pedoman hidup yang mengedepankan Tri Hita Karana). Ke fanatikan, sentimen, diskriminasi, atau sifat – sifat konservativ pun semakin menjadi – jadi. Lalu setelah ini. Realitas apa yang akan di mucul kan oleh actor – actor yang memiliki kepentingan di pulau seribu pura??????????????

1 komentar:

  1. hhhaaaaaaaaaaa itu mah sudah biasa dalam politik............mana mungkin pejababat2 sekarang mau susah2 apalagi ngurus soal rakyat yang kompleks...........yaaaaa kecuali di untungkan scara peribadi atw kelompokna...mungkin saja

    BalasHapus