Senin, 11 Februari 2013

Islam“YES”, Partai Islam“NO”

Istilah (Islam “YES”, Partai Islam “NO”), mungkin sudah tak asing lagi dari pendengaran kita semua. Wacana ini mungkin telah lama bergaung. Di mana gagasan ini menjadi sebuah wacana yang sangat kontroversial, ketika Nurcholis Madjid atau yang akrab disapa Cak Nur menyatakan “Islam YES, Partai Islam NO”. Gagasan ini muncul secara bersamaan, ketika sebagian Masyarakat Islam memiliki keinginan untuk mendirikan partai yang berlabelkan Islam (Ideologi Partai). Mungkin disinilah kekontroversialan gagasan dari Nurcholis Madjid, yang mengundang amarah sebagian Masyarakat Islam di Indonesia pada umumnya.
Bagi saya, gagasan Cak Nur yang kontroversial ini mungkin disebabkan oleh sejarah pahit yang pernah tejadi di Benua Erofa pada abad pertengahan. Di mana agama di politisir demi kepentingan kelompoknya dan dijadikan sebuah alat untuk mencapai tujuannya, atau dalam istilah Amir Piliang adalah “Nilai – nilai Sakral yang Profankan”. Simbol – simbol Agama hanya dijadikan sebagai pemanis belaka. Hal inilah yang mungkin melatarbelakangi Cak Nur mengeluarkan gagasan seperti itu. Di mana agar sejarah pahit yang terjadi di Benua Erofa pada pertengahan abad itu tidak terjadi di Negeri Indonesia tercinta.

Terbukanya Kran Reformasi pada tahun 1998, yang ditandai dengan runtuhnya rezim Orde Baru. Pembentukan Partai – Partai yang berlabelkan Islam kian menjamur, dengan menawarkan berbagai visi atau misi yang mungkin menarik atau dianggap cocok oleh sebagian masyarakat Muslim di Indonesia. Semisal visi atau misi formalisasi islamlah, pemurnian islam atau pengembalian Islam pada Al – Qur’an dan Al – hadits. Sampul inilah yang membuat sebagian warga muslim di Indonesia tertarik dan percaya kepada partai – partai yang dibungkus oleh simbol – simbol islam. Sampul ini pula mampu menarik sebagian masyarakat Islam pada tahun 2000 untuk berpartisipasi terhadap partai yang berlabelkan islam, atau dalam istilah Althusser ini dinamakan dengan Ideolgy State Aparatus. Di mana masyarakat digerakan melalui sebuah ideologi yang dianggap cocok atau pas.
Tapi bagi saya semua itu hanyalah pemanis belaka, di mana hal ini hanya digunakan untuk memuluskan kepentingan kelompok atau pribadi belaka. Saya teringat dengan steatment seorang cendikiawan yang Insialnya disembunyikan. Dia berkata “Jika ada Partai Politik yang berlabelkan Islam, mampu merealisasikan substansi Islam yang bersumber pada Al – Qur’an dan Al – hadits. Maka dia akan memperjuangkan Partai itu dengan Materiil atau Inmateriilnya sendiri ”. Sayangnya hingga kini tak ada satupun partai yang berlabelkan islam, mampu merealisasikan substansi islam itu sendiri. Malah sebaliknya, partai yang berlebel simbol – simbol islam kini memperlihatkan prilaku yang tak wajar atau keluar dari norma atau etika di dalam islam itu sendiri. Seperti Korupsi uang pengandaan Al – Qur’an, Korupsi daging sapi dan lain – lainnya. Jadi sangat wajar jika partisipasi atau kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap partai berlebelkan Islam kini kian menurun.
Tindakan – tindakan diataslah yang kini mampu menjawab gagasan Cak Nur tentang politik di Indonesia, di mana partai yang berlebel islam hanya akan memperburuk wajah islam di mata orang luar saja. Gagasan ini masih relevan untuk dijadikan acuan, khususnya kepada Partai yang masih mengunakan simbol – simbol Islam. Agar setidaknya setiap partai tidak mengunakan simbol – simbol kesakralan, ini juga berguna untuk keberlanjutan Partai itu sendiri pada khususnya dan kebaikan Islam sebagai agama pada umumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar