Jika kita amati secara seksama, tampak jelas kepada kita betapa tatanan dunia global atau modernitas saat ini dipenuhi oleh ketidakadilan. Kesenjangan sosial – ekonomi, sosial – cultural, ketimpangan antar daerah, refresi politik dan fundamentalisme etno – religius semakin berkembang biak. Semua ini adalah contoh – contoh kasar dari perselingkuhan kaum penguasa dan pengusaha yang hanya semata – mata mencari sebuah keuntungan buat kelompoknya dan pribadi pada khususnya. Kesenjangan atau konflik – konflik diatas pun kini makin merambat kedaerah – daerah yang memiliki letak geografis yang sangat sterategis. Salah satu pulau yang memiliki kesterategisan wilayah dan menjadi tempat persinggahan oleh ketidak adilan dunia Global dan modernitas adalah pulau seribu pura. Kesenjangan dan konflik – konflik ini harus tumbuh subur disebuah pulau yang di anggap sebagai titisan dewa oleh penduduknya. Berangkat dari realita ini, ada sebuah pertanyaan besar yang muncul dibenak penulis: Mengapa kesenjangan atau permasalahan – permasalahan itu harus terjadi dipulau yang dianggap sebagai titisan dewa?....... Pertanyaan ini mungkin tidak timbul dari benak penulis saja, tapi pertanyaan ini menjadi sebuah PR bagi kita bersama, khususnya pada masyarakat Bali secara keseluruhan.
Permasalahan yang kini menghampiri Bali adalah sebuah permasalahan yang mungkin disebabkan oleh faktor dari dalam (internal) atau dari luar sendiri (eksternal). Semisal permasalahan kasta, pariwisata, budaya atau permasalahan tentang pendatang yang dalam persepsi sebagian masyarakat Bali sebagai perusak. Mungkin salah satu penyebab timbulnya permasalahan – permasalahan diatas adalah karena adanya stimulus yang mempengaruhi munculnya permasalahan itu. Semisal Tragedi Bom Bali I. Mungkin kita sebagai orang Bali, tidak akan pernah lupa atau teringat terus dengan sebuah tragedi dahsyat dipulau Bali, yang hingga sekarang perbuatan ini masih dikutuk oleh masyarakat Bali. Pada tanggal 12 oktober 2002 sebuah tragedi yang memporak – porandakan pulau Bali, yang secara langsung membuat marah masyarakat Bali. Kemarahan ini muncul karena masyarakat Bali telah banyak berkorban untuk pariwisata dan masyarakat Bali melihat semakin kompetitipnya kompetisi disektor ekonomi, sehingga hal ini membuat masyarakat Bali semakin marah terhadap para pelaku Bom Bali. Kemarahan masyarakat Bali direspon oleh elit atas dan pengusaha yang memcari keuntungan semata, salah satu respon elit atas atau pengusaha atas kemarahan ini ialah dengan memodifikasi kembali konsep Ajeg Bali menjadi Gerakan Ajeg Bali. Sebuah benteng yang dianggap memiliki tujuan sebagai penjaga hak milik masyarakat Bali dari sisa hantaman Bom Bali I, yang dimana hak milik ini dalam perspektif masyarakat Bali adalah Adat dan kebudayaan yang masih tersisa. Benteng yang lahir ketika sebagian masyarakat Bali Galau akibat Bom Bali I. Gerakan ini pun kini menjadi sebuah keyakinan baru yang mengental atau menjadi iman bagi sebagian masyarakat Bali yang hingga kini masih tertanam rapi dalam benak masyarakat Bali.Kata gerakan Ajeg Bali mungkin sudah tidak asing lagi dari pendengaran kita sebagai penduduk Bali. Gerakan yang muncul pasca tragedi Bom Bali I yang di nahkodai oleh Satria Naradha ( Ketua Bali post ), kini telah menghipnotis sebagian masyarakat Bali. Gerakan Ajeg Bali yang dianggap sebagai benteng oleh masyarakat Bali, kini menjadi kata sakti yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan kesaharian masyarakat Bali. Dari aktivitas kesaharian yang berbentuk formal sampai pada aktivitas non formal, kata sakti ini terus dikumandangkan, sehingga gerakan ini seperti menjadi ruh kedua bagi sebagian manusia – manusia Bali. Gerakan yang dianggap sebagai benteng terbuka oleh Henk Schulte Nordholt, kini menjadi salah satu topik yang marak diperbincangkan oleh intelektual – intelektual Bali. Berbagai literatur tentang “ Gerakan Ajeg Bali “ mulai banyak terbit, dari sejarah sampai pada menghadirkan analisa – analisa teoritik baik dalam politik ekonomi maupun sosiologis historis.
Ajeg Bali : sebuah sejarah, makna dan bentuk kegiatan
Ajeg Bali adalah sebuah gerakan yang dianggap memiliki tujuan sebagai penjaga dan pensteriil kebudayaan Bali sendiri. Pada akhir tahun 1999-an yang ditandai oleh adanya Otonomi Daerah yang tertera dalam Undang-Undang No. 22 tahun 1998, di Bali muncul sebuah semangat untuk menegakkan atau mengokohkan Bali. Pada pertengahan 2002, setelah munculnya Bali TV, semangat itupun berubah menjadi sebuah konsep Ajeg Bali yang diluncurkan pada peresmian Bali TV pada Mei 2002, dan ketika itu Gubernur Bali, I Dewa Made Beratha mendorong para pemirsa untuk mengajegkan adat dan budaya Bali (Nordholt : 2010). Pada tahun 2003, pasca ledakan Bom Bali I di Legian Kute pada Oktober 2002, konsep Ajeg Bali ini berubah menjadi sebuah gerakan yang diwujudkan dalam 8 bentuk kegiatan. Seperti rubrik Ajeg Bali, promosi politik, menjaga keamanan Bali, pendidikan, pelestarian seni budaya, lingkungan hidup, Koperasi Krama Bali, dan memperjuangkan status otonomi khusus (I nyoman : 2009).
Semua bentuk kegiatan diatas bermuara pada keinginan atau cita – cita masyarakat Bali untuk memurnikan identitas ke Baliaannya dan kebudayaan pada khusunya, dengan cara melakukan artikulasi atau menggabungkan 2 hal yang memang terpisah (Adat dan Agama) dan memilah antara kebudayaan yang asli dan luar Bali. Penggabungan 2 hal ini pun harus diamini oleh sebagian masyarakat Bali, dan hingga kini pengabungan ini terkonstruk kuat dalam pikiran sebagaian masyarakat Bali melalui pemaknaan Ajeg Bali itu sendiri. Ini semacam agenda doktrinisasi yang dilakukan oleh intelektual organik yang menginginkan sebuah keuntungan, atau dalam bahasa Luois Althusser ini dinamakan dengan “ Ideologi Steta Aparatus “. Semisal pemaknaan kata Ajeg yang artinya “kita harus kembali keasal atau kembali ke Bali yang murni dan damai (warisan nenek moyang dulu), Ajeg Bali berarti Bali aman dan mampu melawan teroris ” (Nordholt : 2009). Selain itu, Ajeg Bali juga dimaknai oleh sebagian masyarakat Bali sebagai sebuah gerakan yang berlandaskan pada nilai – nilai Agama Hindu dan ideologi Tri Hita Karana yang memiliki 3 poin substansial. Sehingga dari pemaknaan Ajeg Bali diatas dapat diambil sebuah hipotesa, bahwa gerakan Ajeg Bali adalah sebuah gerakan identitas yang diartikan sebagai “Bali adalah Hindu, dan Hindu adalah Bali“. Hal ini akan berpotensi pada pemunculan sifat atau sikap etnosentris dan melahirkan sebuah paham kedaerahan atau Baliisme. Disinilah pluralisme atau keberagaman sangat dibutuhkan, hal ini tiada lain agar tidak adanya tindakan - tindakan yang merugikan satu sama lainnya.
Ajeg Bali adalah sebuah gerakan yang dianggap memiliki tujuan sebagai penjaga dan pensteriil kebudayaan Bali sendiri. Pada akhir tahun 1999-an yang ditandai oleh adanya Otonomi Daerah yang tertera dalam Undang-Undang No. 22 tahun 1998, di Bali muncul sebuah semangat untuk menegakkan atau mengokohkan Bali. Pada pertengahan 2002, setelah munculnya Bali TV, semangat itupun berubah menjadi sebuah konsep Ajeg Bali yang diluncurkan pada peresmian Bali TV pada Mei 2002, dan ketika itu Gubernur Bali, I Dewa Made Beratha mendorong para pemirsa untuk mengajegkan adat dan budaya Bali (Nordholt : 2010). Pada tahun 2003, pasca ledakan Bom Bali I di Legian Kute pada Oktober 2002, konsep Ajeg Bali ini berubah menjadi sebuah gerakan yang diwujudkan dalam 8 bentuk kegiatan. Seperti rubrik Ajeg Bali, promosi politik, menjaga keamanan Bali, pendidikan, pelestarian seni budaya, lingkungan hidup, Koperasi Krama Bali, dan memperjuangkan status otonomi khusus (I nyoman : 2009).
Semua bentuk kegiatan diatas bermuara pada keinginan atau cita – cita masyarakat Bali untuk memurnikan identitas ke Baliaannya dan kebudayaan pada khusunya, dengan cara melakukan artikulasi atau menggabungkan 2 hal yang memang terpisah (Adat dan Agama) dan memilah antara kebudayaan yang asli dan luar Bali. Penggabungan 2 hal ini pun harus diamini oleh sebagian masyarakat Bali, dan hingga kini pengabungan ini terkonstruk kuat dalam pikiran sebagaian masyarakat Bali melalui pemaknaan Ajeg Bali itu sendiri. Ini semacam agenda doktrinisasi yang dilakukan oleh intelektual organik yang menginginkan sebuah keuntungan, atau dalam bahasa Luois Althusser ini dinamakan dengan “ Ideologi Steta Aparatus “. Semisal pemaknaan kata Ajeg yang artinya “kita harus kembali keasal atau kembali ke Bali yang murni dan damai (warisan nenek moyang dulu), Ajeg Bali berarti Bali aman dan mampu melawan teroris ” (Nordholt : 2009). Selain itu, Ajeg Bali juga dimaknai oleh sebagian masyarakat Bali sebagai sebuah gerakan yang berlandaskan pada nilai – nilai Agama Hindu dan ideologi Tri Hita Karana yang memiliki 3 poin substansial. Sehingga dari pemaknaan Ajeg Bali diatas dapat diambil sebuah hipotesa, bahwa gerakan Ajeg Bali adalah sebuah gerakan identitas yang diartikan sebagai “Bali adalah Hindu, dan Hindu adalah Bali“. Hal ini akan berpotensi pada pemunculan sifat atau sikap etnosentris dan melahirkan sebuah paham kedaerahan atau Baliisme. Disinilah pluralisme atau keberagaman sangat dibutuhkan, hal ini tiada lain agar tidak adanya tindakan - tindakan yang merugikan satu sama lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar