Selasa, 16 Oktober 2012

Premanisme VS Ruang Publik (Public Spyre)

Mungkin bagi kita semua, premanisme dan ruang publik adalah 2 konsep yang sudah tak asing lagi dari penglihatan dan pendengaran kita semua. Dua konsep ini menjelma menjadi sebuah kata yang mulai marak diperbincangkan oleh kalangan akademisi atau cendikiawan hingga masyarakat tataran bawah atau atas, baik perbincangan di warung – warung kopi maupun ditempat – tempat yang bersifat formal. Dalam konteks ini premanisme dapat  dimaknai sebagai paham tindakan kejahatan yang meresahkan keamanan masyarakat serta menganggu ketertiban umum dan memberikan pengaruh yang negatif bagi kesejahteraan dan perekonomian masyarakat, sedangkan ruang publik bagi Jurgen Hebermas dimaknai sebagai ruang bagi diskusi kritis yang terbuka bagi semua orang. Pada ruang publik ini, indivudu berkumpul untuk membentuk sebuah publik dimana nalar publik ini akan diarahkan untuk mengawasi kekuasaan pemerintah dan kekuasaan negara tanpa adanya dominasi atau hegemoni. Ruang publik mengasumsikan adanya kebebasan berbicara dan berkumpul, kebebasan pers, dan hak secara bebas berpartisipasi  dalam perdebatan politik dan pengambilan keputusan. Dua konsep yang telah dimaknai di atas, kini harus bertarung dalam memperebutkan sebuah tempat yang dianggap memiliki fungsi sebagai pelanjut tatanan hidup umat manusia. Perebutan tempat yang dimotori oleh 2 konsep ini (Premanisme dan Ruang Publik), lebih dominan terjadi pada kota – kota Metropolitan yang dianggap memiliki ruang yang menjanjikan untuk kelangsungan hidupnya. Seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Jogjakarta dan Bali.

Kota – kota metropolitan yang dijadikan sebagai persingahan oleh konsep premanisme dan ruang publik harus berakibat pada munculnya sebuah perubahan terhadap kota itu sendiri. Semisal jika premanisme mampu menguasai sebuah kota, maka kebebasan atau kreasi tiap individu dalam membentuk sebuah publik dikota itu akan minim, atau angka keamanan dalam kota itu sangat kecil persentasenya. Hal ini kemungkinan besar mampu memunculkan sebuahk konflik, baik konflik yang bersifat laten (terbuka) maupun manifest (tertutup). Semisal konflik antara warga dengan preman yang terjadi disulawesi selatan (Makasar) atau konflik di Papua. Begitu juga sebaliknya, menurut hebermas jika ruang publik mampu menguasai sebuah kota maka ketentraman bagi masyarakat akan tercipta atau ruang kekritisan tiap individu akan lahir. Seperti kebebasan berbicara dan berkumpul, kebebasan pers, dan hak secara bebas berpartisipasi  dalam perdebatan politik dan pengambilan keputusan.
Fenomena inilah yang kini menyesaki kota – kota di Bali. Dimana Bali yang dianggap sebagai pulau titisan para dewa, kini harus mengalami perubahan – perubahan yang cukup signifikan dalam berbagai aspek. Hal ini dipengaruhi oleh faktor yang datang dari dalam atau luar. Semisal perubahan dalam aspek religius, ekonomi ataupun dalam aspek sosial. Seperti konflik, kesentimenan atau perubahan yang terjadi pada ruang kota,  yang dimana fungsi ruang publik kini tidak berjalan sesuai fungsinya (dalam perspektif Hebermas). Ini dikarenakan oleh dominasi premanisme terhadap ruang publik yang semakin besar. Mungkin ini bisa dilihat dari realita sosial yang terjadi di Denpasar, dimana peran preman dalam mengatur ruang publik kini cukup tinggi persentasenya. Lihat baliho – baliho yang menyesaki tiap sudut kota di Bali (ruang publik), dimana baliho ini dipangpang oleh kelompok – kelompok preman yang berbeda dengan tujuan memperlihatkan eksistensinya.
Dominasi preman terhadap ruang publik yang dianggap memiliki fungsi sebagai ruang pemberi kebebasan tiap individu, kini harus melahirkan sebuah permasalahan - permasalahan baru bagi masyarakat Bali. Baik permasalahan dalam konteks kebebasan, ketidakteraturan maupun dalam konteks keresahan. Bagi penulis, dominasi preman terhadap ruang publik ini mampu melahirkan sebuah ketakutan bagi masyarakat atau individu dalam berkreasi atau bereksperesi. Semisal kejadian yang pernah saya alami, dimana seorang teman saya pernah  mengatakan : jog dak meraos masalah preman dini, soale rawan gati dini. Antar geng dini memusuhan. Bede – bede saling mejaguran (jangan bicara masalah preman disini, soalnya tempat ini rawan. Antara geng disini bermusuhan. Dikit – dikit tawuran). Dari ucapan teman saya diatas menandakan bahwa ketakutan tiap individu atau masyarakat dalam berekspresi diruang publik telah tumbuh, ini dikarenakan ruang publik di Bali kini telah didominasi oleh kelompok – kelompok preman. Dimana dengan karakter refresifnya, ia mampu merubah fungsi ruang publik yang menurut hebermas sebagai ruang pemberi kebebasan menjadi ruang pemberi ketakutan bagi publik. Sehingga kebebasan untuk berbicara kini telah tiada, kebebasan dalam berpartisipasi kini telah dipaksa dan kenyamanan bagi masyarakat tidak akan tercipta.
Bagi Hebermas, kalahnya ruang publik yang memiliki fungsi sebagai pemberi kebebasan dengan premanisme yang hanya mampu menciptakan keresahan bagi masyarakat Bali akan berakibat pada terhambatnya pemunculan masyarakat yang demokratis. Sehingga dalam konteks ini, pemerintah seharusnya bertindak cepat dalam mengatasi permasalahan premanisme yang memberikan dampak negatif terhadap keberlangsungan sebuah masyarakat, yang kini mulai menyesaki kota – kota metropolitan di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar