Mungkin bila kita disuguhkan sebuah pertanyaan oleh seseorang tentang pulau yang memiliki panorama dan keindahan alam yang sangat eksotik atau tentang kebudayaan yang masih tradisional. Tanpa melakukan proses berfikir yang lama, pastinya otak kanan kita akan tertuju kepada sebuah pulau yang di apit oleh dua pulau, antara Pulau Jawa dan Pulau Nusa Tenggara Barat. Pertanyaan yang secara langsung akan tertuju pada pulau yang dianggap sebagai titisan Dewa, atau dalam bahasanya Erfing Goffman ”interaksi yang tidak disertai oleh interpretasi atau filterisasi yang membuat individu itu tidak melakukan proses berfikir dalam memberikan feed back terhadap lawan interaksinya”. Proses ini tiada lain adalah bentukan yang dilakukan oleh para elit atas atau intelektual organik yang memiliki tujuan terselubung, dalam pandangannya Peter. L Berger ini disebut sebagai bagian dari konstruksi sosial.Semisal diera pemerintah kolonial Hindia Belanda, Bali dibentuk sebagai pulau yang Bali yang dikenal sebagai pulau yang harmonis, tentram, damai, apolitis dan sebagai pulau wisata yang penuh dengan romantisme tentang ''tradisi, seni, religi serta keteraturan sosial". Pencitraan ini mulai di publikasikan kepada masyarakat Bali sekitar tahun 1920 ketika kekuasaan kolonial Hindia Belanda berada di puncak tahta. Hal ini berbarengan dengan makin berkembang biaknya sifat Nasionalisme di kubu pemuda-pemudi Bangsa Indonesia (Robinson : 2005).
Pembentukan citra Bali seperti ini, merupakan sterategi kolonial Hindia Belanda dalam mempertahankan kekuasaannya di Negara jajahannya (Indonesia) pada umumnya dan Bali pada khususnya. Tak sampai dimasa ini saja pencitraan terhadap Bali, dimasa orde lama dan orde baru pun simbol – simbol ini tetap dipertahankan oleh elit pemerintah sebagai cara atau sterategi untuk menambah APBN negara. Sterategi – sterategi yang dilakukan oleh elit penguasa dan pengusaha harus berakibat pada pengaburan terhadap kenyataan yang sebenarnya tentang pulau Bali yang sangat beringas, ganas dan tidak tentram. Semisal catatan-catatan sejarah kolonial yang tidak pernah menyingung kekerasan atau konflik di Bali, seperti peperangan antar kerajaan, konflik – konflik antar kasta, pulau yang mengekspor budak briliant dan tragedi pembunuhan yang di lakukan oleh massa PNI terhadap massa PKI yang terjadi pada tahun 1965-1966 dengan memakan korban kurang lebih 80.000 orang yang tidak bersalah (Robinson : 2005).
Dari fenomena di atas apabila kita mengamatinya secara lebih cermat di era modern ini, Bali yang di citrakan sebagai pulau yang indah dan memiliki budaya yang tradisional. Bali juga merupakan suatu sosok yang gelisah dan gundah karena warganya yang telah berubah mengikuti kemajuan zaman yang di sebabkan oleh semakin berkembang biaknya industry pariwisata. Sehingga di era ini wajah Bali menjadi kian berubah, menjadi sesuatu yang mulai tampak asing bagi sebagian warganya (Putera manuaba : 2009). Di satu sisi masyarakat Bali masih ingin mempertahankan nuansa tradisionalnya yang di bentuk oleh kolonial Hindia Belanda dan tercermin dari begitu kuatnya pengaruh adat istiadat dalam kehidupan masyarakat Bali, disisi lain masyarakat Bali tidak bisa mengelak dari arus modernisasi, westernisasi dan globalisasi yang membawa pada pola fikir modern.
Dewasa ini. Perubahan di sektor sosial dan budaya atau konflik – konflik di atas tidak pernah dilihat dari benih politik, kuasa, dan pembangunan industri pariwisata. Tapi lebih dominan di lihat sebagai masalah bersama bagi masyarakat Bali untuk menguatkan identitas ke-Bali-an dan menjaga Bali dari orang-orang luar (intropeksi bersama). Ini semacam gerakan politik etnis untuk mencari musuh bersama yang bisa menyatukan masyarakat Bali (menghilangkan atau meminimalisir konflik-konflik internal) untuk tetap bertahan dan kokoh dengan budayanya. Dengan tujuan demi berlangsungnya pariwisata budaya yang membuat manusia Bali tidur lelap dengan banjirnya dollar dipulau seribu pura (Suryawan : 2005).
Tanggal 12 Oktober 2002 sebuah tragedi dahsyat yang memakan korban ratusan orang dan menghancurkan industry pariwisata. Tragedi Bom Bali 1 yang secara langsung membuat masyarakat Bali semakin binggung dan frustasi karena telah berkorban banyak untuk industry pariwisata. Kebinggungan dan kefrustasian masyarakat Bali di sebabkan oleh kompetisi dalam meraup gemerincing dolar semakin kompetitif dengan banyaknya penduduk pendatang. Ini membuat kemarahan masyarakat Bali semakin melonjak. Adat dan kebudayaanlah harta yang masih tersisa dari dahsyatnya hantaman bom di Legian Kute. Dalam perspektif masyarakat Bali. Kebudayaan dan adat adalah dua hak milik yang masih tersisa, ini pun harus di pertahankan dan di lestarikan oleh masyarakat Bali dari pengaruh luar. Sehingga ini berefek pada keinginan sebagian masyarakat Bali untuk tetap mempertahankan nilai – nilai identitas ke Baliannya. Salah satu cara yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Bali untuk tetap mempertahankan identitas ke Baliannya ialah dengan membentuk sebuah benteng untuk melindungi kebudayaan atau nilai – nilai yang tersimpan pada kebudayaan itu sendiri. Benteng ini dinamakan dengan Gerakan Ajeg Bali.
Ajeg Bali adalah sebuah gerakan yang dianggap memiliki tujuan sebagai penjaga dan pensteriil kebudayaan Bali sendiri. Pada akhir tahun 1999-an yang ditandai oleh adanya Otonomi Daerah yang tertera dalam Undang-Undang No. 22 1998, di Bali muncul sebuah semangat untuk menegakkan atau mengokohkan Bali. Pada pertengahan 2002, setelah munculnya Bali TV, semangat itupun berubah menjadi sebuah konsep Ajeg Bali yang diluncurkan pada peresmian Bali TV pada Mei 2002, dan ketika itu Gubernur Bali, I Dewa Made Beratha mendorong para pemirsa untuk mengajegkan adat dan budaya Bali (Nordholt : 2010). Pada tahun 2003, pasca ledakan Bom Bali I di Legian Kute pada Oktober 2002, konsep Ajeg Bali berubah menjadi sebuah gerakan Ajeg Bali. Gerakan ini pun diwujudkan dalam 8 bentuk kegiatan. Seperti rubrik Ajeg Bali, promosi politik, menjaga keamanan Bali, pendidikan, pelestarian seni budaya, lingkungan hidup, Koperasi Krama Bali, dan memperjuangkan status otonomi khusus (I nyoman : 2009).
Semua bentuk kegiatan diatas bermuara pada keinginan atau cita – cita masyarakat Bali untuk memurnikan identitas ke Baliaannya dan kebudayaan pada khusunya, dengan cara melakukan artikulasi atau menggabungkan 2 hal yang memang terpisah (Adat dan Agama) dan memilah antara kebudayaan yang asli dan luar Bali. Penggabungan 2 hal ini pun harus diamini oleh sebagian masyarakat Bali, dan terkonstruk kuat dalam pikiran sebagaian masyarakat Bali melalui pemaknaan gerakan Ajeg Bali itu sendiri. Semisal pemaknaan kata Ajeg yang artinya “kita harus kembali keasal atau kembali ke Bali yang murni dan damai, Ajeg Bali berarti Bali aman dan mampu melawan teroris, atau pemaknaan Ajeg Bali yang menawarkan kepada kita jawaban terhadap modernisasi yang tidak berisi” (Nordholt : 2009).
Selain pemaknaan Ajeg Bali yang sudah tertera diatas, Gerakan Ajeg Bali juga dianggap oleh sebagian masyarakat Bali sebagai sebuah gerakan yang berlandaskan pada nilai – nilai Agama Hindu dan ideologi Tri Hita Karana yang memiliki 3 poin substansial. Seperti interaksi masyarakat pada Tuhan, interakasi masyarakat pada sesama manusia dan interaksi masyarakat pada Alam, sehingga Ajeg Bali dapat diartikan sebagai “Bali adalah Hindu, dan Hindu adalah Bali“. Hal ini akan berefek pada munculnya sifat atau sikap etnosentris dan melahirkan sebuah paham kedaerahan atau Baliisme. Pemaknaan dan bentuk kegiatan Ajeg Bali mendapatkan respon dari berbagai kelompok yang ada di Bali. Semisal kelompok yang merespon gerakan ini adalah kelompok dari kalangan cendikiawan, yang mengangap bahwa pemaknaan dan bentuk kegiatan Ajeg Bali sebagai gerakan yang konservatif dan diskriminatif, yang nantinya bisa melahirkan sebuah kefanatikan dalam konteks beragama maupun dalam konteks bermasyarakat, dan ada juga kelompok – kelompok Hindu konservatif yang mengamini gerakan Ajeg Bali dengan tujuan terealisasinya sebuah kebudayaan homogen yang bersifat inklusif (kebudayaan Hindu atau Bali), dan dari kelompok – kelompok kelas menengah yang memiliki tujuan mencari keuntungan materiil.
Menurut AA. GN Ari Dwipayana dalam buku “Bali Antah Berantah” karangan I Ngurah Suryawan mengatakan bahwa gagasan Ajeg Bali ditentukan secara dominan oleh tafsir tiga aktor utama. Pertama tafsir yang dilakukan oleh kelompok – kelompok konservatif – romantik , yang memaknai Bali adalah Bali yang tidak berubah (statis). Kelompok kedua adalah kelompok – kelompok madzhab fungsionalisme struktural yang menginginkan adanya sebuah keteraturan, kerukunan, keseimbangan dan keajegan. Kelompok ini mengatakan bahwa perubahan sebagai penyimpangan, sehingga kelompok ini bersandar pada gagasan status qua. Dalam gagasan status qua, Bali diletakkan dalam kerangka pencapaian stabilitas sosial dan konsensus normatif. Kelompok ketiga adalah kelompok kapitalisme pasar, yang dimana Ajeg Bali dimaknai sebagai invensi modernitas dalam memanfaatkan tradisi. Seperti industri media, sampai dengan biro perjalanan untuk mengunakan simbol Ajeg Bali dalam kerangka kepentingan akumulasi kapital. Dalam konteks ini Ajeg Bali sudah menjadi komoditas untuk melayani kepentingan pasar yang semakin haus pada identitas (Suryawan : 2010).
Dari fenomena di atas apabila kita mengamatinya secara lebih cermat di era modern ini, Bali yang di citrakan sebagai pulau yang indah dan memiliki budaya yang tradisional. Bali juga merupakan suatu sosok yang gelisah dan gundah karena warganya yang telah berubah mengikuti kemajuan zaman yang di sebabkan oleh semakin berkembang biaknya industry pariwisata. Sehingga di era ini wajah Bali menjadi kian berubah, menjadi sesuatu yang mulai tampak asing bagi sebagian warganya (Putera manuaba : 2009). Di satu sisi masyarakat Bali masih ingin mempertahankan nuansa tradisionalnya yang di bentuk oleh kolonial Hindia Belanda dan tercermin dari begitu kuatnya pengaruh adat istiadat dalam kehidupan masyarakat Bali, disisi lain masyarakat Bali tidak bisa mengelak dari arus modernisasi, westernisasi dan globalisasi yang membawa pada pola fikir modern.
Dewasa ini. Perubahan di sektor sosial dan budaya atau konflik – konflik di atas tidak pernah dilihat dari benih politik, kuasa, dan pembangunan industri pariwisata. Tapi lebih dominan di lihat sebagai masalah bersama bagi masyarakat Bali untuk menguatkan identitas ke-Bali-an dan menjaga Bali dari orang-orang luar (intropeksi bersama). Ini semacam gerakan politik etnis untuk mencari musuh bersama yang bisa menyatukan masyarakat Bali (menghilangkan atau meminimalisir konflik-konflik internal) untuk tetap bertahan dan kokoh dengan budayanya. Dengan tujuan demi berlangsungnya pariwisata budaya yang membuat manusia Bali tidur lelap dengan banjirnya dollar dipulau seribu pura (Suryawan : 2005).
Tanggal 12 Oktober 2002 sebuah tragedi dahsyat yang memakan korban ratusan orang dan menghancurkan industry pariwisata. Tragedi Bom Bali 1 yang secara langsung membuat masyarakat Bali semakin binggung dan frustasi karena telah berkorban banyak untuk industry pariwisata. Kebinggungan dan kefrustasian masyarakat Bali di sebabkan oleh kompetisi dalam meraup gemerincing dolar semakin kompetitif dengan banyaknya penduduk pendatang. Ini membuat kemarahan masyarakat Bali semakin melonjak. Adat dan kebudayaanlah harta yang masih tersisa dari dahsyatnya hantaman bom di Legian Kute. Dalam perspektif masyarakat Bali. Kebudayaan dan adat adalah dua hak milik yang masih tersisa, ini pun harus di pertahankan dan di lestarikan oleh masyarakat Bali dari pengaruh luar. Sehingga ini berefek pada keinginan sebagian masyarakat Bali untuk tetap mempertahankan nilai – nilai identitas ke Baliannya. Salah satu cara yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Bali untuk tetap mempertahankan identitas ke Baliannya ialah dengan membentuk sebuah benteng untuk melindungi kebudayaan atau nilai – nilai yang tersimpan pada kebudayaan itu sendiri. Benteng ini dinamakan dengan Gerakan Ajeg Bali.
Ajeg Bali adalah sebuah gerakan yang dianggap memiliki tujuan sebagai penjaga dan pensteriil kebudayaan Bali sendiri. Pada akhir tahun 1999-an yang ditandai oleh adanya Otonomi Daerah yang tertera dalam Undang-Undang No. 22 1998, di Bali muncul sebuah semangat untuk menegakkan atau mengokohkan Bali. Pada pertengahan 2002, setelah munculnya Bali TV, semangat itupun berubah menjadi sebuah konsep Ajeg Bali yang diluncurkan pada peresmian Bali TV pada Mei 2002, dan ketika itu Gubernur Bali, I Dewa Made Beratha mendorong para pemirsa untuk mengajegkan adat dan budaya Bali (Nordholt : 2010). Pada tahun 2003, pasca ledakan Bom Bali I di Legian Kute pada Oktober 2002, konsep Ajeg Bali berubah menjadi sebuah gerakan Ajeg Bali. Gerakan ini pun diwujudkan dalam 8 bentuk kegiatan. Seperti rubrik Ajeg Bali, promosi politik, menjaga keamanan Bali, pendidikan, pelestarian seni budaya, lingkungan hidup, Koperasi Krama Bali, dan memperjuangkan status otonomi khusus (I nyoman : 2009).
Semua bentuk kegiatan diatas bermuara pada keinginan atau cita – cita masyarakat Bali untuk memurnikan identitas ke Baliaannya dan kebudayaan pada khusunya, dengan cara melakukan artikulasi atau menggabungkan 2 hal yang memang terpisah (Adat dan Agama) dan memilah antara kebudayaan yang asli dan luar Bali. Penggabungan 2 hal ini pun harus diamini oleh sebagian masyarakat Bali, dan terkonstruk kuat dalam pikiran sebagaian masyarakat Bali melalui pemaknaan gerakan Ajeg Bali itu sendiri. Semisal pemaknaan kata Ajeg yang artinya “kita harus kembali keasal atau kembali ke Bali yang murni dan damai, Ajeg Bali berarti Bali aman dan mampu melawan teroris, atau pemaknaan Ajeg Bali yang menawarkan kepada kita jawaban terhadap modernisasi yang tidak berisi” (Nordholt : 2009).
Selain pemaknaan Ajeg Bali yang sudah tertera diatas, Gerakan Ajeg Bali juga dianggap oleh sebagian masyarakat Bali sebagai sebuah gerakan yang berlandaskan pada nilai – nilai Agama Hindu dan ideologi Tri Hita Karana yang memiliki 3 poin substansial. Seperti interaksi masyarakat pada Tuhan, interakasi masyarakat pada sesama manusia dan interaksi masyarakat pada Alam, sehingga Ajeg Bali dapat diartikan sebagai “Bali adalah Hindu, dan Hindu adalah Bali“. Hal ini akan berefek pada munculnya sifat atau sikap etnosentris dan melahirkan sebuah paham kedaerahan atau Baliisme. Pemaknaan dan bentuk kegiatan Ajeg Bali mendapatkan respon dari berbagai kelompok yang ada di Bali. Semisal kelompok yang merespon gerakan ini adalah kelompok dari kalangan cendikiawan, yang mengangap bahwa pemaknaan dan bentuk kegiatan Ajeg Bali sebagai gerakan yang konservatif dan diskriminatif, yang nantinya bisa melahirkan sebuah kefanatikan dalam konteks beragama maupun dalam konteks bermasyarakat, dan ada juga kelompok – kelompok Hindu konservatif yang mengamini gerakan Ajeg Bali dengan tujuan terealisasinya sebuah kebudayaan homogen yang bersifat inklusif (kebudayaan Hindu atau Bali), dan dari kelompok – kelompok kelas menengah yang memiliki tujuan mencari keuntungan materiil.
Menurut AA. GN Ari Dwipayana dalam buku “Bali Antah Berantah” karangan I Ngurah Suryawan mengatakan bahwa gagasan Ajeg Bali ditentukan secara dominan oleh tafsir tiga aktor utama. Pertama tafsir yang dilakukan oleh kelompok – kelompok konservatif – romantik , yang memaknai Bali adalah Bali yang tidak berubah (statis). Kelompok kedua adalah kelompok – kelompok madzhab fungsionalisme struktural yang menginginkan adanya sebuah keteraturan, kerukunan, keseimbangan dan keajegan. Kelompok ini mengatakan bahwa perubahan sebagai penyimpangan, sehingga kelompok ini bersandar pada gagasan status qua. Dalam gagasan status qua, Bali diletakkan dalam kerangka pencapaian stabilitas sosial dan konsensus normatif. Kelompok ketiga adalah kelompok kapitalisme pasar, yang dimana Ajeg Bali dimaknai sebagai invensi modernitas dalam memanfaatkan tradisi. Seperti industri media, sampai dengan biro perjalanan untuk mengunakan simbol Ajeg Bali dalam kerangka kepentingan akumulasi kapital. Dalam konteks ini Ajeg Bali sudah menjadi komoditas untuk melayani kepentingan pasar yang semakin haus pada identitas (Suryawan : 2010).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar