Salah satu tokoh pembaharu muslim di Indonesia adalah Abdurrahman Wahid. Sebelumnya dia memiliki nama dengan sapaan Abdurrahman ad-dakhil, addakhil yang berarti “ sang penakluk ”, sebuah nama yang di ambil oleh ayahnya ( Wahid Hasyim ) dari perintis dinasti umayyah yang telah menancapkan tongkat kejayaan sampai ke Andalusia. Belakangan kata addakhil tidak terlalu familiar, sehingga diganti menjadi Wahid, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. GusDur adalah putra pertama dari 6 bersaudara. Ia dilahirkan di Denanyar, Jombang, Jawa Timur pada tanggal 4 agustus 1940. Secara silsilah Gus Dur adalah keturunan ningrat atau darah biru. Ayahnya Wahid Hasyim anak dari Hadratus Syeh Hasyim Asy’ari , pendiri jamiiyah Nahdlatul Ulama ( NU ), organisasi islam yang terbesar di Indonesia dan pendiri pondok pesantren Tebu Ireng. Sedangkan ibunya bernama Hj sholehah, anak dari Bisri Syamsuri. KH Bisri juga merupakan tokoh NU, dia menjabat sebagai Rais ‘Aam setelah KH Wahab Hasbullah. Dengan demikian GusDur merupakan cucu dari dua ulama NU dan dua tokoh Indonesia.
Pada umur 9 tahun Gus Dur pindah ke Jakarta bersama keluarganya, setelah ayahnya Wahid Hasyim di angkat menjadi Menteri Agama. Dengan demikian suasana baru telah dimasukinya. Tamu-tamu yang terdiri dari para tokoh dengan berbagai bidang profesinya –yang sebelumnya di jumpai dirumah kakeknya terus berlanjut ketika ayahnya menjadi Menteri Agama. Hal ini membuat secara tidak langsung Gus Dur berkenalan dengan dunia politik. Dalam kesehariannya, Gus Dur gemar membaca, rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya dan menonton ke bioskop. Selain itu juga dia aktip berkunjung keperpustakaan umum di Jakarta. Pada umur belasan, Gus Dur telah akrab dengan berbagai majalah, surat kabar, novel dan buku-buku yang agak serius. Karya-karya yang dibacanya tidak hanya cerita-cerita atau biografi-biografi tokoh, akan tetapi wacana tentang filsafat dan dokumen-dokumen manca Negara tak luput dari perhatiannya.
Semasa kecilnya GusDur belajar bersama kakeknya KH Hasyim Asyari. Saat serumah dengan kakeknya Gus Dur di ajari mengaji dan membaca al-qur’an, sehingga pada usia 5 tahun Gus Dur sudah lancar membaca Al-Qur’an. Pada saat ayahnya pindah ke Jakarta , dia belajar les privat bahasa belanda kepada Willem bul dan belajar formal disekolah. Setelah lulus sekolah dasar, Gus Dur dikirim oleh ayahnya untuk belajar di djogjakara. Pada tahun 1953 ia masuk SMEP ( sekolah menengah ekonomi pertama ) Gowongan, sambil mondok di pesantren Krapyak. Dari sekolah ini pula Gus Dur mulai belajar bahasa inggris. Ketika menjadi siswa sekolah menengah pertama, hobby membaca Gus Dur mendapat tempat. Gus dur didorong oleh gurunya untuk menguasai bahasa inggris, sehingga dalam satu – dua tahun Gus Dur menghabiskan beberapa buku dalam bahasa inggris semisal the story civilization karya Will Durrent, das capitalnya Karl Marx, filsafat plato, theles, Socrates dan sebagainya. Setelah tamat di SMEP, Gus Dur melanjutkan belajarnya di pesantren tegalrejo, magelang , jawa tengah.
Setelah menghabiskan 2 tahun dipesantrem tegalrejo, Gus Dur pindah kembali ke jombang, dan tinggal dipesantern tambak beras. Saat itu usianya sudah beranjak menuju 20 tahun, sehingga dipesantren milik pamannya (KH. Abdul Fatah ) ia menjadi seorang ustadz dan menjadi ketua keamanan. Pada umur 22, Gus Dur berangkat ketanah suci, untuk menunaikan ibadah haji, yang kemudian diteruskan ke mesir untuk melanjutkan study ke univesity Al-azhar. Pertama kali sampai di mesir , ia merasa kecewa karena tidak dapat langsung masuk dalam university Al-azhar, akan tetapi harus masuk Aliyah (semacam sekolah persiapan). Disekolah ini ia agak merasa bosan, karena harus mengulang pelajaran yang sudah di tempuh di Indonesia. Dan untuk menghilangkan kebosananya, Gus Dur sering mengunjungi perpustakaan, layanan informasi Amerika dan toko-toko buku yang di kehendaki. Pada tahun 1966 Gus Dur pindah ke Irak, sebuah Negara modern yang memiliki peradaban cukup maju. Di Irak ia masuk dalam department of relagion di university Baghdad sampai tahun 1970. Selama di Baghdad, Gus Dur mempunyai pengalaman hidup yang berbeda dengan di mesir, di Negara seribu satu malam ini Gus Dur mendapatkan rangsangan intelektual yang tidak didapat di mesir. Selepas belajar di Baghdad Gus Dur berkeinginan melanjutkan study ke erofa, akan tetapi karena persyaratan yang ketat utamanya dalam hal bahasa yang tak bisa dipenuhi oleh Gus Dur, maka keinginannya ia kubur. Lalu akhirnya ia pun melakukan kunjungan kebeberapa kampus dan menjadi pelajar keliling semisal ia menetap di belanda selama 6 bulan*dan mendirikan perkumpulan mahasiswa Indonesia dan Malaysia, pergi ke Mc Gill university di kanada untuk mempelajari kajian-kajian keislaman secara mendalam.
Pada tahun 1971 Gus Dur kembali ke tanah air, hal ini disebabkan karena isu-isu yang menarik didalam perkembangan didunia pesantren. Pada tahun ini Gus Dur memutuskan untuk menjadi dosen pada fakultas ushuluddin universitas tebu ireng, Jombang dan mulai aktif dalam tulis menulis. Tidak heran jika sanjungan datang dari berbagai intelektual tanah air, semisal Djohan Efendi menilai bahwa Gus Dur adalah seorang pencerna, mencerna semua pemikiran yang di bacanya, kemudian diserap menjadi pemikirannya sendiri. Sehingga tidak heran jika tulisan-tulisannya jarang mengunakan foot note. Pada tahun 1984 Gus Dur di pilih secara aklamasi oleh sbuah team ahl hall wa al-aqdi yang di ketui oleh KHR As’ad Syamsul Arifin untuk menduduki jabatan sebagai ketua PBNU dalam muktamar ke 27 di Situbondo. Kursi ini tetap di pegang pada muktamar ke 28 di pesantren Krapyak djogjakarta dan muktamar 29 di cipasung Jawa Barat, dan kemudian di lepas ketika menjadi presiden ke 4 RI. Hal yang terpenting adalah ia juga pernah menjadi ketua Forum Demokrasi dari tahun 1991-1999, dari berbagai kalangan, forum ini merupakan lawan tanding terhadap ICMI yang di anggapnya sebagai organisasi sekterian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar