A. PEMIKIRAN NURCHOLIS MADJID
1.Ke-Islam-an ( Doktrin dan Peradaban )
A. Peradaban
Islam yang dulu dianggap termajinalkan, dalam semua bidang khususnya didunia pendidikan, di anggap sebagai penghambat kemajuan teknologi dan sebagai tatanan nilai yang tidak dapat hidup berdampingan dengan dunia sains modern. Seperti halnya fenomena yang terjadi di Timur Tengah atau di Asia khususnya Islam di Indonesia sendiri, yang mengangap bahwa sampai selama ini, tema-tema tentang peradaban yang sudah mengkonstruksi pikiran masyarakat ( membentuk atau menciptakan citra buruk terhadap peradaban Timur ), merupakan politik ideologis Barat. Dimana Barat selalu menampilkan dirinya sebagai sebuah peradaban yang superior sementara peradaban Timur di anggap sebagai inverior, peradaban Barat selalu memposisikan dirinya sebagai ordinat, dan Timur tidak lebih dari sub ordinat. Akibatnya, peradaban Timur terutama Negara-Negara yang pernah mengalami Kolonialisasi Barat, cendrung mempunyai beban psikology berupa Post-Ideology Syndrome untuk selalu curiga terhadap hal-hal yang berbau Barat terutama hasil-hasil pemikirannya ( Listiono Santoso 2009 hal 263 ).
Menurut Nurcholis Madjid, Islam yang di pandang sebagai penyebab kegagalan dan keterbelakangan itu adalah klaim-klaim warisan Kolonial yang pada masa dulu digunakan sebagai alat untuk menghadapi pemusuhan dengan kaum Ulama, Kyai dan Santri khususnya agama Islam itu sendiri( Yasmadi 2005 hal 122). Padahal secara Historitas, Nurcholis memandang bahwa umat Islam masa lampau mempunyai pengalaman luar biasa dalam sebuah Peradaban .
Bahkan, seperti umumnya para Sejarawan Muslim seperti Fazlur Rahman, Moh.Arkoun, Hassan Hanafi, Asghar Ali Engineer, Malik Bennabi dan Yusuf Qardlawi, Ia terkagum dan beranggapan bahwa Dunia modern Eropa dan Barat mendapatkan manfaat dari Peradaban Islam masa lampau itu. Peradaban itu, dalam batas-batas tertentu, mempengaruhi kebangkitan Sains di Eropa, meskipun seperti ia akui umat Islam sendiri banyak yang bersikap Ahistoris, dalam arti tidak bisa menangkap arti sejarah itu, apalagi mengembangkannya (ibid hal 58).
Dari Histori inilah, bagaimana pengalaman sejarah Peradaban Umat Islam tersebut dijadikan sebagai salah satu bahan atau refrensi ( penghargaan terhadap ilmu pengetahuan, Keterbukaan, dan Kebebasan Berfikir, Pentauhidan, Kehidupan Spritual yang di imbangkan dengan kehidupan material+ Toleransi dan persoalan kemajemukan budaya ) oleh Umat Islam untuk menghadapi Modernisasi. Barangkali itulah islam sebagaimana yang di pahami oleh Nurcholis dan bagaimana pemahaman semacam itu menjadi landasan bagi proses aktualisasi misi Islam dalam konteks Indonesia yang menuju kemodernan.
B. Pendoktrinan
Dan adapun masalah pendoktrinan tauhid bagi kaum Muslim ialah, sesuatu yang harus melahirkan sebuah pembebasan bagi Manusia dalam arti yang sebenarnya, karena menurut Nurcholis Islam merupakan doktrin Tuhan yang dihadirkan sebagai” Rahmatan Lil Alamin. Dalam arti bahwa misi Islam bersifat Universalitas, Islam harus dipahami secara tekstual dan secara konseptual yang berlaku pada segala Ruang dan Waktu, serta perbedaan Budaya Manusia.
2. Kemodernan
Pokok pemikiran selanjutnaya tentang Kemodernan, bagaimana seharusnya Umat Islam memandang masalah Kemodernan serta efek-efek yang ditimbulkannya. sehubungan dengan ini Nurcholis melontarkan beberapa pemikiran kontroversialnya.
A. Sekularisasi
Dalam konteks ke Modernan, Nurcholis Madjid mengajukan sebuah pemikiran tentang “Sekularisasi”. Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa”Sekularisme” adalah Pemahaman atau Pandangan Filsafat yang berpendirian bahwa moralitas yang tidak perlu didasarkan pada ajaran Agama. sedangkan Sekularisasi adalah hal-hal yang membawa ke arah kehidupan yang tidak didasarkan pada Agama .dan Sekularis adalah penganut aliran Filsafat yang menghendaki agar kesusilaan atau budi pekerti yang tidak didasarkan pada ajaran Agama, Sekuler adalah bersifat Duniawi atau kebendaan.
Paham Sekularisasi Nurcholis Madjid memang sering mendapat kritikan dari beberapa tokoh di Indonesia, karena akar Sekularisme berasal dari peradaban Barat yang memisahkan antara hal-hal Duniawi dengan hal-hal Akhirat dan tidak mengambil dari ajaran Islam itu sendiri. tapi Nurcholis sendiri mendefinisikan Sekularisasi dengan Rasionalisasi, bukan pemisahan Agama dan kehidupan praktis sebagaimana yang terjadi di Barat pada umumnya.
Menurut Nurcholis Sekularisasi adalah Profanisasi masalah-masalah Duniawi yang sifatnya Obyektif-Rasional atau pemisahan antara masalah Iman dan masalah Rasional, sebab pendekatan keagamaan terhadap masalah-masalah seperti Negara adalah menghasilkan Absolutisme dan melahirkan otoritas keagamaan, sehingga menduniakan hal-hal yang memang sudah Duniawi, dan mengakhiratkan hal-hal yang memang bersifat Ukrawi. atau mensakralkan yang semestinya harus di sakralkan seperti Shalat dan kehidupan setelah mati, dan mendesakralkan yang semestinya harus di desakralkan seperti Politik dan Ekonomi.
Substansi dari pemikiran yang di lontarkan Nurcholis Madjid di atas adalah, semata-mata hanya ingin memberikan dasar-dasar argumen keagamaan terhadap paham kebangsaan. Barangkali dalam benak Cak Nur tergambar Konfrontasi antara para pemimpin Islam dengan pemimpin Nasionalis Sekuler. Ia ingin memberikan jalan keluar dalam memahami masalah Negara, dan juga bagaimana pentauhidan terhadap Gusti Allah swt. itu tetap dipegang teguh oleh semua umat Islam di Indonesia, sehingga tidak ada lagi pengagamaan sesuatu yang bukan Agama atau pentuhanan sesuatu yang bukan Tuhan. Hal ini disebabkan agar umat Islam tidak terjebak pada Mitos-Mitos atau sikap-sikap memutlakan yang bukan Tuhan, serta mengagamakan sesuatu yang bukan Agama. Ia juga masih menginginkan adanya peran Agama dalam pembentukan Masyarakat Modern, misalnya dalam cita-cita keadilan sosial yang merupakan gandengan dari cita-cita Demokrasi ( Dawan Rahardjo dalam diskusi di INSIST).
B. Islam dan Negara
Perdebatan tentang perlu atau tidaknya Negara Islam terjadi sejak awal kemerdekaan hingga akhir tahun 70-an, hingga hal ini cukup memperlambat Umat Islam dalam berpartisipasi pada persoalan-persoalan kemodernitasan, seperti halnya tentang Pembangunan Ekonomi, Sains serta kualitas hidup Manusia.
Dalam menghadapi persoalan Ideologis ini, Nurcholis meluncurkan pandangan-pandangan kontoversial berkaitan dengan perlu atau tidaknya Negara Islam.
Pertama : Tidak sepatutnya Umat Islam mempertentangkan Negara Pancasila dengan Islam, yang terpenting bagaimana menempatkan Islam sebagai kekuatan Spritual bagi Bangsa Indonesia untuk mencapai cita-cita, memajukan Masyarakat menjadi makmur dan sejahtera.
Kedua : Al-Qur’an tidak pernah menjelaskan tentang pendirian sebuah Negara Islam dan hal itu juga di buktikan dengan perkembangan sejarah dalam Islam.
Ketiga : Hal lain yang mendapat perhatian dari Norcholis dalam ke Modernan adalah tentang masalah partisipasi Umat Islam ke dalam bidang Politik. Inti pemikirannya dalam hal ini adalah bagaiman Umat Islam menjadi bagian atau pelopor terbentuknya Masyarakat Madani (Civil Society). yakni Masyarakat yang bercirikan pada sebuah Masyarakat yang menjungjung tinggi nilai-nilai moral dan keadaban dengan tujuan terciptanya atau terbentuknya Masyarakat yang adil dan sejahtera. Yang merupakan cita-cita Islam, dan pernah dicontohkan Nabi,dengan berdirinya Madinah sebagai kota Nabi yang beradab (ibid hal 2-3).
3. Keindonesiaan
Berdirinya Indonesia mengalami sejarah yang panjang dalam kebelangsungan kemerdekaan Tanah Air ini, sejarah mencatat bahwa antara Islam dan Nasionalisme pernah mengalami Dialektika yang sangat dinamis dalam penentuan keberlangsungan kemerdekaan Negara Indonesia, menjelang kemerdekaan. Semisal badan penyelidik usaha-usaha persiapan kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) mengatakan, terdapat dua kubu dominan yang saling berhadapan untuk menentukan keberlangsungan kemerdekaan ini, yakni kubu Isalam dan kubu Nasionalis. kubu pertama di wakili oleh tokoh-tokoh Islam seperti Ki Bagus Hadi Kusumo, KH.Kahar Mudzakar (Muhammadiyah), dan KH.Wahid Hasyim (NU). Sedangkan kubu Nasionalis di wakili oleh Soekarno dan sahabat-sahabatnya.
Dua kubu tersebut memperjuangkan pandangan dan cita,cita politiknya yang berkaitan dengan konstruksi Negara Indonesia merdeka. Kubu Islam, mereka menginginkan Indonesia mengkonstruksi sebagai “Negara Islam”,atau setidaknya mejadikan Islam sebagai Dasar Negara, kubu Nasionalis menginginkan sebuah Negara Nasionalis atau Negara Kebangsaan. Konsep negara nasional secara konseptual berbeda dengan konsep negara islam dan negara yang berdasrkan pada agama umumnya. Dari dialaktika yan terjadi ini, sehingga akhirnya melahirkan sebuah landasan atau konsep negara modern bagi indonesia yang diformat dalam bentuk negara berdasarkan PANCASILA ( moh nasih 2010 hal 115 ).
Dari sinilah muncul paradigma Nurcholis Madjid yang mengasumsikan bahwa Indonesia mempunyai spesipikasi Sosail, Budaya dan Agama yang sangat majemuk dan Indonesia Negara yang belum mempunyai kemapanan suatu budaya, ia masih dalam tahap perkembangana dan pertumbuhan yang terus menerus. Sehubungan dengan konteks ini Nurcholis mengajukan beberapa pamikiran tentang persoalan-persoalan ke-Islam-an dan ke Indonesiaan.
Pertama : untuk melaksanakan Islam, umat Islam terlebih dahulu harus memahami sosio-cultur Indonesia yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Menurut Nurcholis, Indonesia saat ini berada dalam Tiga gelombang sekaligus: pertama ( Pertanian ), kedua ( Industri ) dan ketiga ( Teknologi ). Sehingga Nurcholis mengusulkan agar pelaksanaan Islam di sini haruslah memperhatikan faktor-faktor Masyarakat Indonesia yang sedang tumbuh dan berkembang cepat, serta menghadapi berbagai problem sosial sebagai eksesnya.
Kedua ; ciri spesipik latar sosio cultur Indonesia yang harus di pahami, adalah kemajemukan (Pluralitas). Pluralitas disini meliputi: Budaya, Agama, Etnis, Geogerafis dan lain-lain. dalam hal Agama terdiri dalam multi agama (ibid hal 60).
B. KRITIK TERHADAP REALITA SOSIAL
Di tahun-tahun ini fenomena-fenomena tentang Islam Transnasional dengan tujuan melakukan perubahan dalam aspek sistem ke tatanegaraan Indonesia menjadi Negara Islam makin merebak, baik perubahan dalam Dunia politik maupun secara Sosial. Hal ini disebabkan reaksi kaum atau kelompok garis keras atau islam fundamental yang bersikap reaksioner terhadap Modernitas. Semisal isu yang di angkat oleh Modernitas adalah tentang kesetaraan Laki-laki dengan Perempuan, yang menurut mereka Kaum Perempuan wajib menjadi Ibu rumah tangga, dan masalah Prularitas, yang dimana dia mengangap selain umat Islam adalah Kafir, akan masuk Neraka, akan hanya membuat kerusakan terhadap Islam dan tidak akan rela dengan Islam.
Pada umumnya Ideologi Islam Fundamental di Indonesia di pengaruhi oleh gerakan Islam Transnasional Timur Tengah seperti Gerakan Wahabi, Ikhwanul Muslimin atau kolaborasi dari dua Gerakan ini (Wahabi dan Ikwanul Muslimin), Kelompok-kelompok garis keras atau fundamental memiliki agenda yang berbeda dengan Ormas-Ormas Indonesia (moderat) dan Partai-Partai yang berhaluan kebangsaan lainnya seperti halnya Muhammadiyah dan NU. Kelompok-kelompok ini telah berhasil mengubah wajah Islam Indonesia yang dulunya terkenal lembut, toleran, prulalitas dan penuh kedamaian, kini berubah menjadi agresif, intoleran, beringas dan penuh kebencian ( Abdurrahman wahib 2009 hal 257).
Bebagai cara atau Gerakan ia lakuakan untuk bisa merealisasikan tujuannya ( perubahan terhadap Bangsa/Negara Indonesia), dari hal yang berbau ekstrem sampai berbau kasih sayang, salah satunya ialah pengboman yang terjadi diberbagai daerah yang mengatas namakan Agama, penyusupan keberbagai LSM atau keparlemen Pemerintahan, pendekatan finansial banyak dilakukan kepada orang-orang yang diduga bisa di beli untuk rela menyalurkan atau menyebarkan Ideologi Islam garis keras, membersihkan Masjid secara gratis dengan tujuan untuk melakukan penguasaan terhadap Masjid itu sendiri, usaha merebut lembaga-lembaga Pendidikan baik Pendidikan Muhammadiyah maupun NU.
Hal ini memunculkan reaksi-reaksi dari Islam Moderat untuk merespon pengaruh atau infilterasi Gerakan Islam Fundamental yang belakangan ini sangat kuat, baik dari kalangan Kyai, Intelektual/Cendikiawan, Santri maupu para Elit-elit Pemeritahan. Semisal contoh para Ulama dalam menggalang dukungan dari para pemimpin dan umat Islam yang belum terpengaruh dengan pahamnya, untuk secara sadar melawan penyebaran Ideologi Islam Garis Transnasional (ibid hal 301).
Dari History ini muncullah sebuah Antitesa dari pengkolaborasian fenomena (menjamurnya islam garis keras) dengan teori di atas. Bahwasanya Kelompok-kelompok Islam garis keras yang bertujuan merubah Sistem Pemerintahan menjadi Negara Islam ( Khilafah Islamiyah ) adalah hal yang sangat salah untuk direalisasikan di Negara ini. Dilihat dari persepective ke-Islam-an Nurcholis, Kelompok-kelompok Islam garis keras atau Islam Fundamental tidak terlalu Shahih dalam memaknai Islam dan merealisasikan substansi-substansi dari ajaran Islam (tunduk, patuh, berserah diri dan damai) itu sendiri, hal ini di sebabkan karena sebuah penafsiran yang dilakukan secara tekstual dan pemahaman Literal-Tertutup atas teks-teks keagamaan dan hanya menerima kebenaran sepihak. Dalam hal ini, Literal tertutup telah memutus relasi kongkret dan aktual pesan-pesan agama dari realitas sejarah, sosial dan kultur. Akibatnya, pesan-pesan agama di amputasi sedemikian rupa dan hanya menyisakan organ yang sesuai dengan Ideologinya.
Islam yang di kenal oleh kalangan umat Islam Moderat seperti Nurcholis, Gusdur, Harun Nasution, Fahry Ali dan lain-lainnya adalah Islam yang menekankan pada substansi dari Islam itu sendiri. semisal Nurcholis meyakini bahwa Islam mengandung berbagai nilai-nilai etik yang meliputi segala bidang. Namun yang terpenting baginya adalah bagaimana nilai-nilai etik yang substansif itu di elaborasikan sedemikian rupa dalam rangka aktualisasinya pada konteks ke Indonesian dan ke Modernan. Bukan seperti halnya Islam-Islam fundamental atua Islam garis keras yang terlalu tekstualis dan literal-tertutup dalam memahami ajaran Islam ( ibid hal 67 ) .
Padahal kita sering di ingatkan bahwa Agama adalah jalan dan cara, dua prinsip yang terkandung didalamnya adalah ketulusan mengabdi kepada Allah swt. Dan berhias dengan akhlak mulia dan terpuji. Pengabdian dengan Allah swt.tidak hanya dilakukan dengan Ibadah murni seperti Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji, melainkan juga melayani dan membantu Makhluk Allah swt. Sedangkan akhlak mulia menekankan agar pengabdian kepada Allah swt. dalam bebagai bentuk atau caranya dilakukan dengan cara-cara yang baik dan terpuji dan tidak merugikan atau menyakiti siapapun ( ibid 2009 hal 222 ).
Adapun kritik Nurcholis terhadap Konsep Negara Islam yang dianggapnya sebagai sebuah Apologi. Ada dua sebab mengapa umat Islam di dunia umumnya dan di Indonesia khususnya melakukan apologi dalam pemikiran mereka .
Pertama : sikap Defensifnya terhadap serbuan Ideologi-ideologi Barat (modern), seperti Demokrasi, Sosialisme, Komunisme dan sebagainya yang merupakan pemikiran-pemikiran yang bersifat Totaliter. Sebagai tanggapan terhadap invasi Ideologi itu umat Islam menjawab dengan konsep al Din yang mencakup kesatuan Agama dan Negara. Karenanya Konsep tersebut, yang tidak didasarkan pada kajian ilmiah, hanya merupakan apologia yang ilusi saja.
Kedua : paham Legalisme yang dihasilkan oleh pendekatan Fiqihisme, sehingga Negara dinilai sebagai susunan hukum yang disebut syari’at. Padahal, kajian-kajian fiqih di zaman modern ini telah kehilangan relevansinya terhadap persoalan-persoalan Masyarakat yang senantiasa berubah. Negara misalnya adalah suatu gejala yang berdimensi Rasional Obyektif, sedangkan agama berdimensi spiritual yang bersifat pribadi. Keduanya memang berkaitan, namun harus tetep dibedakan. Jika Negara ikut mengatur kepercayaan, maka hal ini tidak sesuai dengan ajaran Islam sendiri yang tidak mengenal otoritas keagamaan (la rububiyati fi al Islam), tak ada otoritas ke Pendetaan atau ke Ulamaan dalam Islam.
Menurut perspektif ke Indonesian perubahan menjadi Negara Agama adalah hal yang sangat bertolak belakang dengan cultur dan sosial Negara ini sendiri, karena Negara Indonesia adalah Negara Multicultur dan Negara Multiagama yang mengedepankan kebersamaan. Perubahan Sistem Negara ini akan memberikan dampak yang begitu banyak terhadap masyarakat itu sendiri, semisal kekerasaan tradisi atau budaya yang terlahir dari kebenaran sepihak yang di jungjung tinggi membuat tidak bisa memahami kebenaran lain yang berbeda, sehingga nantinya praktik-praktik ke Agamaan umat Islam yang semula di akomodasi kemudian divonis sesat. Seperti penyesatan terhadap cultur Islam semisal Tahlilan, Maulidan dan lain-lainnya, dan juga akan memberi dampak sosiologis berupa aksi-aksi anarkis dan Destruktip terhadap pihak lain yang dituduh musyrik, murtad dan kafir seperti halnya pembunahan Umat Islam yang terjadi di Arab Saudi (Makkah dan Madinah), Karbala, Thaif da pembunuhan Kelompok haji dari Iran, syria, dan Mesir. Dampak lainnya lainnya juga ialah perubahan ini akan menjadi awal yang reduksi bagi kekayaan budaya dan kebebasan beragama tidak bagi hanya Non Muslim tapi juga bagi Muslim itu sendiri, bahkan distorsi terhadap Islam itu sendiri. bagi Non Muslim perubahan ini bisa membuat mereka mengalami Alienasi Psikologis atau Sosial di sebuah Negara yang menganut paham berbeda dari keyakinan yang mereka anut. Sedangkan bagi Muslim, perubahan ini akan berarti penyempitan, pembatasan dan hilangnya kesempatan untuk menafsirkan pesan-pesan Agama sesuai dengan konteks sosial dan budaya Bangsa Indonesia dan setiap pembacaan yang berbeda dari tafsir resmi Negara akan menjadi subversif dan harus di larang.
Hal ini di sebabkan karena ketidakpahaman Islam garis keras atau Islam Fundamental terhadap Sosio-Cultur Masyarakat yang berdinamika dan latar belakang dari Sosio cultur itu sendiri. yang dimana Sosio-cultur kepulauan Nusantara merupakan wilayah yang sangat kaya dengan warisan Spritual, sebuah tradisi yang secara terbuka menerima sebuah perbedaan.
Perspective ke Modernan pun menolak sebuah perubahan atau pendirian Negara yang mengunakan syariat Islam secara keseluruhan, baik dari Cultur, Sosial, Politik dan Pendidikan. Adapun titik penolakan Modernitas terhadap Khilafah Islamiyah, berada pada perbedaan antara Modernitas yang menjungjung tinggi perbedaan ( Prularitas ) baik Agama, Etnis, ataupun Budaya, dan menghargai adanya keseteraan Gender sedangkan Kelompok-kelompok Islam garis keras atau Fundamental tidak menerima adanya perbedaan ( Prularisme ) dan kesetaraan Gender.
Nurcholis juga mengatakan bahwa:
• Tidak sepatutnya umat Islam mempertentangkan Negara Pancasila dengan Islam, yang terpenting bagaimana menempatkan Islam sebagai kekuatan Spritual bagi Bangsa Indonesia untuk mencapai cita-cita, memajukan Masyarakat menjadi makmur dan sejahtera. Yang dimana Pancasila dipandang sebagai Kalimat al-sawa ( Common Flatform), yakni titik temu antar umat beragama dalam hal berbangsa dan bernegara. Namun demikian, Pancasila sebagai Ideologi terbuka, membutuhkan penafsiran oleh siapapun, temasuk umat Islam. Ia kemudian berharap umat Islam tidak ragu-ragu lagi menerimanya sebagai Ideolog Negara.
• Al-Qur’an tidak pernah menjelaskan tentang pendirian sebuah Negara Islam dan hal itu juga di buktikan dengan perkembangan sejarah dalam Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Gagasan jurnal HMI, mengenang pemikirannya Nurcholis Madjid dan untuk apa bepolitik? , cet 1 Jakarta: Sinergi Persadatama Foundation, 2003.
Yasmadi , Modernisasi Pesantren : Kritik Nurcholis terhadap pendidikan islam tradisional, cet 1ciputat : ciputat press , 2005
Santoso listyono, epistomologi kiri , cet 6 jogjakarta : arruz media group, 2009.
Wahid abdurrahman, ilusi negara islam: ekspansi gerakan islam transnasional di indonesia , cet 1jakarta : The wahid institute, 2009.
Nurhakim moh ,neo modernisme dalam islam , cet 1 malang : UMM press
Gagasan jurnal HMI, mengenang pemikirannya Nurcholis Madjid dan untuk apa bepolitik? , cet 1 Jakarta: Sinergi Persadatama Foundation, 2003.
Yasmadi , Modernisasi Pesantren : Kritik Nurcholis terhadap pendidikan islam tradisional, cet 1ciputat : ciputat press , 2005
Santoso listyono, epistomologi kiri , cet 6 jogjakarta : arruz media group, 2009.
Wahid abdurrahman, ilusi negara islam: ekspansi gerakan islam transnasional di indonesia , cet 1jakarta : The wahid institute, 2009.
Nurhakim moh ,neo modernisme dalam islam , cet 1 malang : UMM press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar