
Mungkin bagi kita semua, premanisme dan ruang publik adalah 2 konsep yang sudah tak asing lagi dari penglihatan dan pendengaran kita semua. Dua konsep ini menjelma menjadi sebuah kata yang mulai marak diperbincangkan oleh kalangan akademisi atau cendikiawan hingga masyarakat tataran bawah atau atas, baik perbincangan di warung – warung kopi maupun ditempat – tempat yang bersifat formal. Dalam konteks ini premanisme dapat dimaknai sebagai paham tindakan kejahatan yang meresahkan keamanan masyarakat serta menganggu ketertiban umum dan memberikan pengaruh yang negatif bagi kesejahteraan dan perekonomian masyarakat, sedangkan ruang publik bagi Jurgen Hebermas dimaknai sebagai ruang bagi diskusi kritis yang terbuka bagi semua orang. Pada ruang publik ini, indivudu berkumpul untuk membentuk sebuah publik dimana nalar publik ini akan diarahkan untuk mengawasi kekuasaan pemerintah dan kekuasaan negara tanpa adanya dominasi atau hegemoni. Ruang publik mengasumsikan adanya kebebasan berbicara dan berkumpul, kebebasan pers, dan hak secara bebas berpartisipasi dalam perdebatan politik dan pengambilan keputusan. Dua konsep yang telah dimaknai di atas, kini harus bertarung dalam memperebutkan sebuah tempat yang dianggap memiliki fungsi sebagai pelanjut tatanan hidup umat manusia. Perebutan tempat yang dimotori oleh 2 konsep ini (Premanisme dan Ruang Publik), lebih dominan terjadi pada kota – kota Metropolitan yang dianggap memiliki ruang yang menjanjikan untuk kelangsungan hidupnya. Seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Jogjakarta dan Bali.